INKAM, MAKASSAR – Perayaan Idulfitri telah berlalu, tetapi bagi masyarakat Bugis Makassar, tradisi silaturahmi tetap berlanjut dengan penuh makna.
Salah satu tradisi yang masih kental dilakukan pasca-Lebaran adalah Massiara, yaitu saling mengunjungi sanak saudara, tetangga, dan sahabat untuk bermaaf-maafan.
Massiara bukan sekadar tradisi sosial, tetapi juga memiliki nilai spiritual yang mendalam.
Masyarakat Bugis Makassar meyakini bahwa dengan saling memaafkan, dosa-dosa selama setahun terakhir dapat dihapuskan.
Lebaran menjadi momentum penting untuk memperkuat tali persaudaraan, dan membangun kembali hubungan yang mungkin sempat renggang.
Selain Massiara, terdapat pula tradisi Massiara Kuburu, yaitu mengunjungi makam leluhur untuk mendoakan mereka.
Keluarga besar biasanya berkumpul di pemakaman, membawa air untuk menyiram batu nisan, serta melantunkan doa bersama.
Tradisi ini mencerminkan penghormatan kepada leluhur, sekaligus memperkuat rasa kebersamaan dalam keluarga.
Tidak hanya dalam bentuk kunjungan, tradisi pasca-Lebaran juga tercermin dalam sajian kuliner khas Bugis Makassar.
Hidangan seperti burasa, coto Makassar dan sop konro, menjadi menu utama saat menjamu tamu. Makanan ini bukan sekadar hidangan, tetapi juga bagian dari identitas budaya yang diwariskan turun-temurun.
“Lebaran tanpa burasa dan coto rasanya kurang lengkap. Ini sudah menjadi kebiasaan yang terus kami jaga, agar tradisi tetap hidup di tengah keluarga,” ujar seorang warga Makassar.
Keberadaan makanan khas ini menambah kehangatan dalam setiap pertemuan, dan menjadikan silaturahmi semakin berkesan.
Meski zaman terus berubah, masyarakat Bugis Makassar tetap mempertahankan tradisi Massiara, sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Tidak hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya, tetapi juga sebagai sarana untuk menjaga hubungan baik dengan sesama.
Lebaran bagi masyarakat Bugis Makassar bukan sekadar perayaan, tetapi juga momentum penting untuk mempererat silaturahmi, baik dengan keluarga yang masih hidup maupun dengan para leluhur yang telah tiada.
Tradisi ini terus hidup dan menjadi warisan budaya yang harus dijaga, agar tetap lestari sepanjang masa.